Selasa, 28 Januari 2014

MAKAM SUNAN GUNUNG JATI


Makam Sunan Gunung Jati

Makam Sunan Gunung Jati Dihiasi dengan keramik buatan Cina dari jaman Dinasti Ming. Di komplek makam ini di samping tempat dimakamkannya Sunan Gunung Jati juga tempat dimakamkannya Fatahilah panglima perang pembebasan Batavia. Lokasi ini merupakan komplek pemakaman bagi keluarga Keraton Cirebon, terletak + 6 Km ke arah Utara dari Kota Cirebon Jawa Barat.dan makam ini selalu ramai di kunjungi orang untuk berziarah,apalagi waktu malam jum'at

Makam Sunan Gunung Jati yang berada di bukit Gunung Sembung hanya boleh dimasuki oleh keluarga Kraton sebagai keturunannya selain petugas harian yang merawat sebagai Juru Kunci-nya.

Selain dari orang-orang yang disebutkan itu tidak ada yang diperkenankan untuk memasuki makam Sunan Gunung Jati. Alasannya antara lain adalah begitu banyaknya benda-benda berharga yang perlu dijaga seperti keramik-keramik atau benda-benda porselen lainnya yang menempel ditembok-tembok dan guci-guci yang dipajang sepanjang jalan makam.

Keramik-keramik yang menempel ditembok bangunan makam konon dibawa oleh istri Sunan Gunung Djati yang berasal dari Cina, yaitu Putri Ong  Tien. Banyak keramik yang masih sangat baik kondisinya, warna dan design-nya sangat menarik. Sehingga dikhawatirkan apabila pengunjung bebas keluar-masuk seperti pada makam-makam wali lainnya maka barang-barang itu ada kemungkinan hilang atau rusak.Wisata Indonesia Surga Dunia.
SUMBER : http://www.wisatanesia.com

Rabu, 15 Januari 2014

Tarling, Bangklung, Longser, Dodombaan

1. Tarling


Tarling adalah salah satu jenis musik yang populer di wilayah pesisir pantai utara (pantura) Jawa Barat, terutama wilayah Indramayu dan Cirebon. Nama tarling diidentikkan dengan nama instrumen itar (gitar) dan suling (seruling), Asal-usul tarling mulai muncul sekitar tahun 1931 di Desa Kepandean, Kecamatan/Kabupaten Indramayu. Alunan gitar dan suling bambu yang menyajikan musik Dermayonan dan Cerbonan itu pun mulai mewabah sekitar dekade 1930-an. Kala itu, anak-anak muda di berbagai pelosok desa di Indramayu dan Cirebon, menerimanya sebagai suatu gaya hidup. Trend yang disukai dan populer, di jondol atau ranggon* anak muda suka memainkannya, seni musik ini mulai digandrungi. Pada 1935, alunan musik tarling juga dilengkapi dengan kotak sabun yang berfungsi sebagai kendang, dan kendi sebagai gong. Kemudian pada 1936, alunan tarling dilengkapi dengan alat musik lain berupa baskom dan ketipung kecil yang berfungsi sebagai perkusi.

2. Bangklung

 
Seni Bangklung merupakan perpaduan antara Seni Terbang dengan Seni Angklung. Dari Seni Terebang diambil kata ” bang” dan dari Seni Angklung diambil kata “klung”. (R. Rukasa Kartaatmadja). konon menurut masyarakat setempat seni bangklung ini, digunakan sebagau media untuk menyebarkan agama islam di wilayah Garut, khususnya di Kampung Babakan Garut Desa Cisero Kecamatan Cisurupan Kabupaten Garut.

Waditra yang di gunakan terdiri dari Terebang Kempring yang berfungsi sebagai Pengatur Tempo, Terebang Tempas dan fungsinya yaitu sebagai Pengiring Kempring, Terebang Bangsing yaitu sebagai Kempul (Goong Kecil), Terebang Indung sebagai Goong, dan Terebang Anak fungsinya yaitu sebagai Juru Lagu.

3. Longser

Longser adlah salah satu jenis teater rakyat  Tatar Sunda yang hidup di daerah Priangan tepatnya di Bandung Selatan daerah  Ranca Manyar Kecamatan Pameungpeuk.

Tokoh yang dikenal pada jaman nya ialahAteng Japar,  yang dari kecil  menggarap Longser, setelah generasi BangTilil, Bang Tawes.

Longser mengalami puncak kejayaan dalamkurun waktu 1920-1960 yang dikenal ialah Longser Bang Tilil, tumbuhkelompok-kelompok Longser seperti Bang Soang, Bang Timbel, Bang Cineur dari Ciamis.

Menurut  "kirata" Longser bermakna Long (melong) dan Ser ( rasa / gairah seksual ) .
Kelompok terkenal asal daerah Kabupaten Bandung adalah kelompok Ateng Japar dengan Pancawarna menguasai daerah Kabupaten Bandung  seperti daerah Pangalengan , Banjaran , Soreang dll.


4. Dodombaan



 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Salah satu kesenian yang ada di kabupaten garut ialah dodombaan. Kesenian tradisional Dodombaan berasal dari Panembong Kec.Bayongbong Kab.Garut yang terinspirasi dari Domba Garut yang terkenal dengan kegagahan dan kekekarannya. Sekilas kesenian tradisional dodombaan mirip dengan kesenian sisingaan yang ada di Subang cuman yang di duduki dalam kesenian dodombaan domba dan bukan singa. Dalam kesenian dodombaan Atraksi seninya menggunakan tetabuhan seperangkat kendang pencak silat dengan beberapa orang pendukungnya. Satu atau dua orang melakukan ibing pencak silat, juga terdapat delapan orang yang mengusung dua buah patung domba dari kayu yang bisa ditunggangi anak-anak dan dewasa dengan kostum tertentu. Kesenian Dodombaan biasanya dapat di saksikan dalam event-event tertentu seperti ketika hari jadi kabupaten Garut.


 


 

Selasa, 14 Januari 2014

Uyeg, Angguk, Karinding, Badawang, Gesrek

1.Uyeg


Uyeg merupakan salah satu seni teater dari Jawa Barat yang nyaris punah.
Uyeg Merupakan salah satu seni tradisi yang ada di daerah Sukabumi khususnya di daerah selatan yaitu di pesisir pantai pelabuhan ratu, kesenian teater rakyat ini sudah bisa di katakana puanah karena kesenian ini sudah lama sekali tidak dipertunjukan di Sukabumi ataupun daerah lainnya apalagi sepeninggalnya pak Anis Djati Sunda yang berhasil merevtalisasi seni teater rakyat ini hampir tidak ada lagi kelompik kesenian di Sukabumi  yang berinisiatif untuk mempertunjukan seni teater rakyat ini, menurut Wilang Sundakalangan kesenian teater rakyat ini sudah ada sejak masa kerajaan Sunda (Abad Ke 7 sampai 14) ketika itu digelar sebagai bagian dari ritual seren taun (Pesta panen) untuk menghormati Dewi Sri dan Guru Bumi namun terakhir kesenian ini ditampilkan pada tahun 1990 setelah Anis melakukan pengumpulan data pada orang-orang yang mau melestarikan Uyeg dari tahun  1978-1981, dari informasi yang diperoleh pada tahun 1854 sempat dipentaskan oleh ayah Akung dari generasi pertama yang mencoba mengangkat kesenian Uyeg, lalu oleh abah Ita sebagai generasi keempat sekitar tahun 1957-1960 yang mulai mengangkatnya kembali, sejak oleh ayah Akung sekitar tahun 1884 kesenian ini sudah berada di Sukabumi tapi mulai dicanangkan sebagai kesenian khas Sukabumi baru tahun 1981 oleh Anis Djatisunda
 
            Berdasarkan Hipotesis Anis Djati Sunda seni Teater Rakyat Uyeg merupakan satu bentuk teater rakyat Jawa Barat yang masih memiliki ciri-ciri dari pola struktur budaya nusantara yang mewarnai lambang tradisi megalitik, terbukti dengan masih digunakannya warna hitam dan putih pada kain yang disebut kelir, kain hitam putih ini merupakan simbol alam yaitu gambaran krisna-paksa (Hitam) dan Sukhla-Paksa (Putih) yakni terkait dengan alam yang memiliki dua unsur yang berbeda, bumi langit, atas bawah, laki-laki perempuan dan yang lainnya dan kata Uyeg memiliki filosofi bahwa Uyeg bersinonin dengan kata Oyag artina bergerak pada visualisasi pertunjuknnya kain kelir senantiasa digerak-gerakan saat pertunjukan sebagai simbol bahwa hidup itu terus bergerak, dinamis tidak setatis seperti pemikiran manusia.
 

2. Angguk

 
Dalam kaitan sejarahmya hasil panen di masyarakat Sunda pada waktu itu belum ada alat transportasi untuk mengangkut hasil bumi ke lumbung ataupun rumahmenggunakan alat pikul yang terbuat dari bambu angguk ( pikulan yang terbuat dari bambu yang ujungnya dibuat lekukan-lekukan yang melingkar digunakan untuk letak tali pemikul ( salang ) . Apabila orang yang memikul berjalan atau bergerak maka lekukan angguk dengan tali tersebut akan terjadi pergesekan sehingga menimbulkan suara dari gesekan tersebut , kesenian ini disebut dengan seni renggong .
Kesenian ini biasanya digunakan untuk perayaan khitanan,perkawinan dan peringatan hari besar lainnya bersamaan dengan Jampana/Dongdang sebagai kesenian helaran. Alat musik tambahan seperti hatog (alat musik tiup/aerophone) yang terbuat dari bambu, besi, kayu/perungu.

3. Karinding

Karinding merupakan salah satu alat musik tiup tradisional Sunda. Ada beberapa tempat yang biasa membuat karinding, seperti di lingkung Citamiang, Pasirmukti, (Tasikmalaya), Lewo Malangbong, (Garut), dan Cikalongkulon (Cianjur) yang dibuat dari pelepah kawung (enau). Di Limbangan dan Cililin karinding dibujat dari bambu, dan yang menggunakannya adalah para perempuan, dilihat dari bentuknya saperti tusuk biar mudah ditusukan di sanggul rambut. Dann bahan enau kebanyakan dipakai oleh lelaki, bentuknya lebih pendek biar bisa diselipkan dalam wadah rokok. Bentuk karinding ada tiga ruas.
Karinding disimpan di bibir, terus tepuk bagian pemukulnya biar tercipta resonansi suara. Karindng biasanya dimainkan secara solo atau grup (2 sampai 5 orang). Seroang diantaranya disebut pengatur nada anu pengatur ritem. Di daerah Ciawi, dulunya karinding dimainkan bersamaan takokak (alat musik bentuknya mirip daun).

4. Badawang

Badawang atau Memeniran adalah patung orang-orangan besar atau makhluk seperti raksasa yang terbuat dari kerangka bambu yang dilapisi kain kostum dan dilengkapi topeng atau ukiran wajah dan kepala. Di dalam kerangka orang-orangan ini terdapat rongga yang dapat dimasuki orang yang akan membawanya berjalan berpawai dan menggerakannya menari-nari. Badawang adalah tradisi masyarakat Sunda di Jawa Barat dan sangat mirip dengan kesenian Ondel-ondel Betawi dari Jakarta dan Barong Landung dari Bali. Tradisi orang-orangan ini sudah memiliki sejarah yang lama, peniruan makhluk hidup sebagai bagian dari tradisi mistis totemistik yang berasal dari sistem kepercayaan asli Indonesia.
Memeniran sedikit berbeda karena wujudnya berupa gabungan dua orang yang menggendong dan digendong. Badan yang digendong adalah badan asli orang pemakainya, sedangkan kaki penggendong adalah kaki asli pemakainya.

5. Gesrek

 
Seni Gesrek disebut juga Seni Bubuang Pati (mempertaruhkan nyawa). Bila dikaji dengan teliti, seni Gesrek dapat dikatakan juga bersifat religius. Dengan ilmu-ilmu, mantra-mantra yang berasal dari ayat Al Qur?an pelaku seni ini bisa tahan pukulan, tidak mempan senjata tajam atau tidak mempan dibakar. Demi keutuhan/mengasah ilmu yang dimiliki pemain Gesrek perlu mengadakan pemulihan keutuhan ilmu dengan jalan ngabungbang (kegiatan ketuhanan yang dilaksanakan tiap malam tanggal 14 Maulud) yaitu mengadakan mandi suci tujuh muara yang menghadap sebelah timur sambil mandi dibacakan mantra-mantra sampai selesai atas bantuan teman atau guru apabila masih ada. Jadi dengan adanya Seni Gesrek kegiatan ritual bisa dilaksanakan secara rutin sebagai rasa persatuan dan kesatuan sesama penggemar seni yang dirasa masih langka. Setelah terciptanya Seni Gesrek timbul gagasan untuk mengkolaborasikannya dengan seni yang berkembang juga di wilayah ini yaitu seni Abah Jubleg. Seni ini dikatakan khowarikul adat (di luar kebiasaan) karena Abah Jubleg dapat mengangkat benda yang beratnya lebih dari 1 (satu) kwintal dengan menggunakan kekuatan gigi, dapat mengubah kesadaran manusia menjadi tingkah laku binatang (Babagongan/Seseroan) dan memakan benda yang tidak biasa dimakan oleh manusia. 




 

Banjet, Celempung Awi, Goong Renteng, Wayang Cepak, Wayang Catur, Wayang Priyayi

1. Banjet


Mengenai kata bajet itu sendiri, menurut sepengetahuan tokoh-tokoh kesenianTopeng Banjet, padamulanya muncul di daerah Cilamaya, Pamanukan dan di daerahpesisir timur lainnya. Penambahan kata banjet kelihatannya memang diperlukan, karena di daerah-daerah tersebut pada masa silam terdapat banyak kelompok-kelompok Topeng Jawa yang berkeliling (ngamen) ke berbagai pelosok di pedesaan. Bermula dari maksud untuk membedakan topeng yang ada di daerah Karawang dengan Topeng Banjet (untuk penegasan, adakalanya Topeng Karawang ini dinamai juga Topeng Sunda atau Ronggeng Betawi). Pemakaian Topeng Banjet ini juga berlaku di daerah Priangan yang barangkali untuk membedakan dengan Topeng Jawa yang juga pada masa silam sering ngamen ke daerah Priangan terutama pada musim tahun baru Cina.

Selanjutnya mengenai arti kata Banjet itu sendiri sampai saat ini belum ada sumber yang dapat menerangkan atau menjelaskan arti sebenarnya. Sedangkan pemakaian istilah Topeng pada kesenian Topeng Banjet ada sejarahnya tersendiri. Memang pada masa sekarang dalam pementasan kesenian Topeng Banjet tidak ada pemain yang memakai Topeng namun pada masa silam yang disebut Topeng Banjet itu dalam sebagian pementasannya ada yang menggunakan Topeng, yaitu pada babak Ngajantuk dan babak Ngedok. Pemakain topeng ini hanya sampai tahun 1949, sebab semenjak itu dilarang oleh penguasa setempat pada masa itu (Batalion X). Dengan dihapusnya pemakaian topeng itu maka hapuslah babak Ngajantuk itu sampai sekarang. Walaupun demikian pemakain kata Topeng tetap dipakai untuk penamaan kesenian Topeng Banjet.
Kesenian Topeng banjet merupakan bentuk kesenian tradisional dengan jenisnya termasuk seni pertunjukan rakyat atau dapat dimasukkan juga ke dalam bentuk teater tradisional. Lebih khusus lagi kesenian Topeng Banjet dapat didefinisikan sebagai seni pertunjukan rakyat yang diawali lawakan atau pelawak (bodor) dengan Topeng Banjet diteruskan dengan pertunjukan seni drama tradisional.

2. Celempung Awi


sekian jenis kesenian bambu yang ada di Jawa Barat, salah satu yang masih bertahan adalah seni celempungan. Kesenian ini memang terasa asing di telinga masyarakat, terutama masyarakat masa kini. Namun, kesenian ini mampu menunjukkan eksistensinya di tengah masyarakat hingga kini.

Seni celempungan lebih terfokus paduan alat-alat musik tradisional, seperti kendang, gong, kenong, suling, toleat, dan sebagainya. Namun, celempungan yang diangkat kali ini adalah sebuah alat musik yang terbuat dari bambu.

Biasanya alat musik celempungan dimainkan dengan alat musik bambu lainnya, seperti karinding dan toleat, yang ternyata mampu menarik perhatian masyarakat. Selain suara musiknya yang terbilang aneh, alat musiknya pun sangat langka. 

3. Goong Renteng



Goong Renteng merupakan salah satu jenis gamelan khas masyarakat Sunda yang sudah cukup tua. Paling tidak, goong renteng sudah dikenal sejak abad ke-16, dan tersebar di berbagai wilayah Jawa Barat.
Menurut Jakob Kunst (1934:386), goong renteng dapat ditemukan di Cileunyi dan Cikebo (wilayah Tanjungsari, Sumedang), Lebakwangi (wilayah Pameungpeuk, Bandung), dan Keraton Kanoman Cirebon. Selain itu, goong renteng juga terdapat di Cigugur (Kuningan), Talaga (Majalengka), Ciwaru (Sumedang), Tambi (Indramayu), Mayung, Suranenggala, dan Tegalan (Cirebon).

Istilah "goong renteng" merupakan perpaduan dari kata "goong" dan "renteng". Kata ‘goong’ merupakan istilah kuno Sunda yang berarti gamelan, sedangkan kata ‘renteng’ berkaitan dengan penempatan pencon-pencon kolenang (bonang) yang diletakkan secara berderet/berjejer, atau ngarenteng dalam bahasa Sunda. Jadi, secara harfiah goong renteng adalah goong (pencon) yang diletakkan/disusun secara berderet (ngarenteng).

Fungsi goong renteng yang sebenarnya dalam kebudayaan Sunda pada masyarakat dulu belum diketahui secara pasti. Kita hanya bisa mengatakan berdasarkan cerita serta fungsi yang masih berlangsung pada beberapa kelompok goong renteng sekarang. Goong renteng ditabuh setelah perangkat gamelan itu dibersihkan, misalnya pada goong renteng Embah Bandong ketika digunakan untuk memeriahkan acara Muludan (peringatan hari lahirnya Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w.) dan acara ngebakan (memandikan; membersihkan) pusaka-pusaka pada setiap tanggal 12 Mulud. Penabuhan ini bagi masyarakat sekaligus merupakan suatu bukti bagaimana pusaka yang berusia ratusan tahun ini masih bisa mengeluarkan bunyi, di samping adanya keanehan lain yang berbau mistik.

4. Wayang Cepak

 
Asal-usul wayang cepak di Cirebon bermula ketika Élang Maganggong, putra Ki Gendeng Slingsingan dari daerah Talaga, berguru agama Islam kepada Suta Jaya Kemit, seorang upas (sama dengan satpam sekarang) di Gebang yang pandai mendalang. Élang Maganggong di kemudian hari menurunkan ilmunya kepada Singgih dan keturunan-keturunan Singgih yang berkedudukan di Desa Sumber, Kecamatan Babakan. Peristiwa inilah yang membuat wayang cepak menyebar ke beberapa wilayah Cirebon bagian Timur seperti Waled, Ciledug, Losari dan Karang Sembung, serta Cirebon bagian Barat yang meliputi daerah Kapetakan dan Arjawinangun.

Wayang ini terbuat dari kayu, yang ujungnya tidak runcing (cepak = bhs Sunda / papak = bhs Jawa). Itulah sebabnya maka wayang ini disebut wayang cepak atau wayang papak. Dilihat dari bentuknya, wayang cepak diperkirakan merupakan pengembangan dari wayang kulit, wayang golek atau wayang menak yang berpusat di daerah Cirebon. Wayang cepak biasanya membawakan lakon-lakon Menak, Panji, cerita-cerita babad, legenda dan mitos. Tetapi, di daerah Cirebon sendiri, wayang cepak lebih banyak melakonkan babad Cirebon, juga babad Mekah dan Pamanukan yang disampaikan dengan bahasa Jawa Cirebon.

Pertunjukan wayang cepak Cirebon dewasa ini kurang mendapat sambutan. Pertunjukannya hanya terbatas pada upacara adat seperti Ngunjung Buyut (nadran, ziarah), acara kaul (nazar) dan ruwatan (ngaruwat = melakukan ritus inisiasi), yaitu menjauhkan marabahaya dari diri sukerta (orang yang diruwat). Dan orang yang diruwat ini biasanya berupa: wunggal (anak tunggal), nanggung bugang (seorang adik yang kakaknya meninggal dunia) atau suramba (empat orang putra), surambi (empat orang putri), pandawa (lima putra), pandawi (lima putri), talaga tanggal kausak (seorang putra diapit dua orang putri), dan lain sebagainya.

5. Wayang Catur


 
WAYANG catur adalah sebuah istilah yang mengingkari dirinya sendiri, jika istilah wayang mengacu kepada wujud benda konkret. Adapun istilah catur jelas mengacu pada tutur. Dengan demikian, pertunjukan wayang catur dapat diartikan sebagai pertunjukan wayang tanpa wayang. Akan tetapi, wayang catur dapat pula dimaknai sebagai pertunjukan wayang yang benar-benar wayang. Hal ini terjadi jika wayang tidak hanya dimaknai sebagai benda konkret, tetapi juga sesuatu yang abstrak , sebagaimana etimologi kata wayang itu sendiri yang berasal dari kata bayang yang lebih menitikberatkan pada aspek imajinasi. Apa pun pengertiannya, wayang catur sudah menjadi bagian dari khazanah perwayangan yang hidup di Tatar Sunda yang mencakup di antaranya wayang golek, wayang kulit, wayang orang, wayang pantun, dan wayang lilingong.

6. Wayang Priyayi


Kelahiran Wayang Wong Priangan di kalangan menak diduga keras diprakarsai oleh Pangeran Suria Kusumah Adinata setelah melepaskan jabatannya sebagai bupati (1836-1882). Di Kabupaten Garut, sekitar tahun 1920 pernah hidup Wayang Wong Priyayi yang diprakarsai oleh para pejabat kabupaten. Pemberi sponsornya adalah Pemerintahan Belanda dan para pelakunya adalah pegawai kabupaten. Pertunjukannya dilakukan di pendopo kabupaten dalam rangka perayaan hari besar. Akan tetapi kelompok ini tidak bertahan lama, dan salah satu penyebabnya adalah karena tidak adanya orang yang bisa memerankan punakawan yang bisa melawak. Para menak pada umumnya tidak ada yang mau menjadi punakawan.
Pertengahan tahun 1920-an juga hidup Wayang Wong Priangan di kalangan priyayi di Kabupaten Bandung. Para penarinya adalah golongan priyayi dan dialognya dilakukan oleh pelaku sendiri. Pelopornya adalah R. Sambas Wirakusumah yang ditandai dengan berdirinya perkumpulan tari yang diberi nama Wirahmasari. Sebagaimana diberitakan dalam majalah Parahiangan yang menyebutkan bahwa, Wirahmasari menyajikan Wayang Wong yang dipertunjukan hanya untuk menyambut tamu agung atau untuk berderma, tidak pernah untuk ngamen. Pernah juga dipertunjukan di pendapa Kewedanaan Cicalengka dalam rangka menghormati P.T. Kolonel J.A. Beummer setelah terjadinya perang pada Juli 1931.
Beberapa daerah yang memiliki perkumpulan Wayang Wong di antaranya adalah Tarogong (Kabupaten Garut), Sukabumi, dan beberapa kelompok di Bandung. Di Sukabumi pernah ada perkumpulan Wayang Wong Oneng sekitar tahun 1925 yang dipimpin oleh seorang dalang yang bernama Oneng. Pertunjukannya dilakukan dengan keliling atau ngeben. Perkumpulan ini bertahan sampai sekitar lima tahun, kemudian diteruskan oleh Ibuk yang kemudian pindah ke Cimahi sekitar tahun 1930-an. Selanjutnya, pada sekitar tahun 1938, di daerah Babakan Tarogong, Kotapraja (Kotamadya) Bandung terdapat perkumpulan Wayang Orang Sunda yang dipimpin oleh Kayat. Kelompoknya dikenal dengan sebutan Wayang Wong Kayat. Pada masa penjajahan Jepang kesenian ini mengalami kebekuan. Pada sekitar tahun 1955, di daerah Cigereleng, Kotapraja Bandung, muncul kelompok wayang wong pimpinan Suherti yang kemudian dikenal dengan Wayang Mojang, yang pelakunya adalah wanita, kecuali punakawan.
Dalam pertunjukan Wayang Wong Priangan, para penari merupakan aktor dan aktris yang memvisualisasikan dan menghidupkan seluruh tokoh wayang sesuai dengan lakon yang dibawakan. Sebutan khususnya adalah anak wayang. Sementara itu, dalang berperan sebagai pembawa dialog, kakawen dan nyandra. Adapun waditra yang digunakan adalah seperangkat gamelan, biasanya berlaras salendro. Waditranya terdiri atas rebab, kendang, saron hiji jeung saron dua, panerus, bonang, rincik, gambang, ketuk, dan goong.
Pertunjukan Wayang Wong Priangan mengacu pada pertunjukan wayang golek. Biasanya diawali dengan tatalu, sebagai pembuka untuk menyambut kehadiran penonton. Dilanjutkan dengan bubuka carita, berupa murwa dan nyandra. Penyajian selanjutnya adalah bagian ngalalakon (bercerita) biasanya dibagi dalam beberapa babak, sesuai dengan cerita yang disajikan. Pada bagian akhir disebut bubaran, yakni bagian penghantar pulang para penonton. Kostum dan rias yang digunakan berorientasi pada Wayang Golek.