1. Banjet
Mengenai kata bajet itu sendiri, menurut sepengetahuan tokoh-tokoh kesenianTopeng Banjet, padamulanya muncul di daerah Cilamaya, Pamanukan dan di daerahpesisir timur lainnya. Penambahan kata banjet kelihatannya memang diperlukan, karena di
daerah-daerah tersebut pada masa silam terdapat banyak
kelompok-kelompok Topeng Jawa yang berkeliling (ngamen) ke berbagai
pelosok di pedesaan. Bermula dari maksud untuk membedakan topeng yang ada di daerah Karawang dengan Topeng Banjet (untuk penegasan, adakalanya Topeng Karawang ini dinamai juga Topeng Sunda atau Ronggeng Betawi). Pemakaian Topeng Banjet ini juga berlaku di daerah Priangan yang barangkali untuk
membedakan dengan Topeng Jawa yang juga pada masa silam sering ngamen
ke daerah Priangan terutama pada musim tahun baru Cina.
Selanjutnya mengenai arti kata Banjet itu sendiri sampai saat ini belum ada sumber yang dapat menerangkan atau menjelaskan arti sebenarnya. Sedangkan pemakaian istilah Topeng pada kesenian Topeng Banjet ada sejarahnya tersendiri. Memang pada masa sekarang dalam pementasan kesenian Topeng Banjet tidak ada pemain yang memakai Topeng namun pada masa silam yang disebut Topeng Banjet itu dalam sebagian pementasannya ada yang menggunakan Topeng, yaitu pada babak Ngajantuk dan babak Ngedok. Pemakain topeng ini hanya sampai tahun 1949, sebab semenjak itu dilarang oleh penguasa setempat pada masa itu (Batalion X). Dengan dihapusnya pemakaian topeng itu maka hapuslah babak Ngajantuk itu sampai sekarang. Walaupun demikian pemakain kata Topeng tetap dipakai untuk penamaan kesenian Topeng Banjet.
Kesenian Topeng banjet merupakan bentuk kesenian tradisional dengan jenisnya termasuk seni pertunjukan rakyat atau dapat dimasukkan juga ke dalam bentuk teater tradisional. Lebih khusus lagi kesenian Topeng Banjet dapat didefinisikan sebagai seni pertunjukan rakyat yang diawali lawakan atau pelawak (bodor) dengan Topeng Banjet diteruskan dengan pertunjukan seni drama tradisional.
2. Celempung Awi
sekian jenis kesenian bambu yang ada di Jawa Barat,
salah satu yang masih bertahan adalah seni celempungan. Kesenian ini
memang terasa asing di telinga masyarakat, terutama masyarakat masa
kini. Namun, kesenian ini mampu menunjukkan eksistensinya di tengah
masyarakat hingga kini.
Seni celempungan lebih terfokus paduan
alat-alat musik tradisional, seperti kendang, gong, kenong, suling,
toleat, dan sebagainya. Namun, celempungan yang diangkat kali ini
adalah sebuah alat musik yang terbuat dari bambu.
Biasanya alat musik celempungan dimainkan dengan alat musik bambu
lainnya, seperti karinding dan toleat, yang ternyata mampu menarik
perhatian masyarakat. Selain suara musiknya yang terbilang aneh, alat
musiknya pun sangat langka.
3. Goong Renteng
Goong Renteng merupakan salah satu jenis gamelan khas masyarakat Sunda yang sudah cukup tua. Paling tidak, goong renteng sudah dikenal sejak abad ke-16, dan tersebar di berbagai wilayah Jawa Barat.
Menurut Jakob Kunst (1934:386), goong renteng dapat ditemukan di Cileunyi dan Cikebo (wilayah Tanjungsari, Sumedang), Lebakwangi (wilayah Pameungpeuk, Bandung), dan Keraton Kanoman Cirebon. Selain itu, goong renteng juga terdapat di Cigugur (Kuningan), Talaga (Majalengka), Ciwaru (Sumedang), Tambi (Indramayu), Mayung, Suranenggala, dan Tegalan (Cirebon).
Istilah "goong renteng" merupakan perpaduan dari kata "goong" dan "renteng". Kata ‘goong’ merupakan istilah kuno Sunda yang berarti gamelan, sedangkan kata ‘renteng’ berkaitan dengan penempatan pencon-pencon kolenang (bonang) yang diletakkan secara berderet/berjejer, atau ngarenteng dalam bahasa Sunda. Jadi, secara harfiah goong renteng adalah goong (pencon) yang diletakkan/disusun secara berderet (ngarenteng).
Fungsi goong renteng yang sebenarnya dalam kebudayaan Sunda pada
masyarakat dulu belum diketahui secara pasti. Kita hanya bisa mengatakan
berdasarkan cerita serta fungsi yang masih berlangsung pada beberapa
kelompok goong renteng sekarang. Goong renteng ditabuh setelah perangkat
gamelan itu dibersihkan, misalnya pada goong renteng Embah Bandong
ketika digunakan untuk memeriahkan acara Muludan (peringatan hari lahirnya Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w.) dan acara ngebakan
(memandikan; membersihkan) pusaka-pusaka pada setiap tanggal 12 Mulud.
Penabuhan ini bagi masyarakat sekaligus merupakan suatu bukti bagaimana
pusaka yang berusia ratusan tahun ini masih bisa mengeluarkan bunyi, di
samping adanya keanehan lain yang berbau mistik.
4. Wayang Cepak
Asal-usul wayang cepak di Cirebon bermula ketika Élang Maganggong, putra
Ki Gendeng Slingsingan dari daerah Talaga, berguru agama Islam kepada
Suta Jaya Kemit, seorang upas (sama dengan satpam sekarang) di Gebang
yang pandai mendalang. Élang Maganggong di kemudian hari menurunkan
ilmunya kepada Singgih dan keturunan-keturunan Singgih yang berkedudukan
di Desa Sumber, Kecamatan Babakan. Peristiwa inilah yang membuat wayang
cepak menyebar ke beberapa wilayah Cirebon bagian Timur seperti Waled,
Ciledug, Losari dan Karang Sembung, serta Cirebon bagian Barat yang
meliputi daerah Kapetakan dan Arjawinangun.
Wayang ini terbuat
dari kayu, yang ujungnya tidak runcing (cepak = bhs Sunda / papak = bhs
Jawa). Itulah sebabnya maka wayang ini disebut wayang cepak atau wayang
papak. Dilihat dari bentuknya, wayang cepak diperkirakan merupakan
pengembangan dari wayang kulit, wayang golek atau wayang menak yang
berpusat di daerah Cirebon. Wayang cepak biasanya membawakan lakon-lakon
Menak, Panji, cerita-cerita babad, legenda dan mitos. Tetapi, di daerah
Cirebon sendiri, wayang cepak lebih banyak melakonkan babad Cirebon,
juga babad Mekah dan Pamanukan yang disampaikan dengan bahasa Jawa
Cirebon.
Pertunjukan wayang cepak Cirebon dewasa ini kurang
mendapat sambutan. Pertunjukannya hanya terbatas pada upacara adat
seperti Ngunjung Buyut (nadran, ziarah), acara kaul (nazar) dan ruwatan
(ngaruwat = melakukan ritus inisiasi), yaitu menjauhkan marabahaya dari
diri sukerta (orang yang diruwat). Dan orang yang diruwat ini biasanya
berupa: wunggal (anak tunggal), nanggung bugang (seorang adik yang
kakaknya meninggal dunia) atau suramba (empat orang putra), surambi
(empat orang putri), pandawa (lima putra), pandawi (lima putri), talaga
tanggal kausak (seorang putra diapit dua orang putri), dan lain
sebagainya.
5. Wayang Catur
WAYANG catur adalah sebuah istilah yang mengingkari dirinya sendiri, jika istilah wayang mengacu kepada wujud benda konkret. Adapun istilah catur jelas mengacu pada tutur. Dengan demikian, pertunjukan wayang catur dapat diartikan sebagai pertunjukan wayang tanpa wayang. Akan
tetapi, wayang catur dapat pula dimaknai sebagai pertunjukan wayang
yang benar-benar wayang. Hal ini terjadi jika wayang tidak hanya
dimaknai sebagai benda konkret, tetapi juga sesuatu yang abstrak , sebagaimana etimologi kata wayang itu sendiri yang berasal dari kata bayang yang lebih menitikberatkan pada aspek imajinasi.
Apa pun pengertiannya, wayang catur sudah menjadi bagian dari khazanah
perwayangan yang hidup di Tatar Sunda yang mencakup di antaranya wayang golek, wayang kulit, wayang orang, wayang pantun, dan wayang lilingong.
6. Wayang Priyayi
Kelahiran Wayang Wong Priangan di kalangan menak diduga
keras diprakarsai oleh Pangeran Suria Kusumah Adinata setelah
melepaskan jabatannya sebagai bupati (1836-1882). Di Kabupaten Garut,
sekitar tahun 1920 pernah hidup Wayang Wong Priyayi yang
diprakarsai oleh para pejabat kabupaten. Pemberi sponsornya adalah
Pemerintahan Belanda dan para pelakunya adalah pegawai kabupaten.
Pertunjukannya dilakukan di pendopo kabupaten dalam rangka perayaan hari
besar. Akan tetapi kelompok ini tidak bertahan lama, dan salah satu
penyebabnya adalah karena tidak adanya orang yang bisa memerankan
punakawan yang bisa melawak. Para menak pada umumnya tidak ada yang mau menjadi punakawan.
Pertengahan tahun 1920-an juga hidup Wayang Wong Priangan di
kalangan priyayi di Kabupaten Bandung. Para penarinya adalah golongan
priyayi dan dialognya dilakukan oleh pelaku sendiri. Pelopornya adalah
R. Sambas Wirakusumah yang ditandai dengan berdirinya perkumpulan tari
yang diberi nama Wirahmasari. Sebagaimana diberitakan dalam majalah Parahiangan yang menyebutkan bahwa, Wirahmasari menyajikan Wayang Wong yang
dipertunjukan hanya untuk menyambut tamu agung atau untuk berderma,
tidak pernah untuk ngamen. Pernah juga dipertunjukan di pendapa
Kewedanaan Cicalengka dalam rangka menghormati P.T. Kolonel J.A. Beummer
setelah terjadinya perang pada Juli 1931.
Beberapa daerah yang memiliki perkumpulan Wayang Wong di antaranya adalah Tarogong (Kabupaten Garut), Sukabumi, dan beberapa kelompok di Bandung. Di Sukabumi pernah ada perkumpulan Wayang Wong Oneng sekitar tahun 1925 yang dipimpin oleh seorang dalang yang bernama Oneng. Pertunjukannya dilakukan dengan keliling atau ngeben.
Perkumpulan ini bertahan sampai sekitar lima tahun, kemudian diteruskan
oleh Ibuk yang kemudian pindah ke Cimahi sekitar tahun 1930-an.
Selanjutnya, pada sekitar tahun 1938, di daerah Babakan Tarogong,
Kotapraja (Kotamadya) Bandung terdapat perkumpulan Wayang Orang Sunda yang dipimpin oleh Kayat. Kelompoknya dikenal dengan sebutan Wayang Wong Kayat.
Pada masa penjajahan Jepang kesenian ini mengalami kebekuan. Pada
sekitar tahun 1955, di daerah Cigereleng, Kotapraja Bandung, muncul
kelompok wayang wong pimpinan Suherti yang kemudian dikenal dengan Wayang Mojang, yang pelakunya adalah wanita, kecuali punakawan.
Dalam pertunjukan Wayang Wong Priangan, para penari
merupakan aktor dan aktris yang memvisualisasikan dan menghidupkan
seluruh tokoh wayang sesuai dengan lakon yang dibawakan. Sebutan
khususnya adalah anak wayang. Sementara itu, dalang berperan sebagai pembawa dialog, kakawen dan nyandra. Adapun waditra yang digunakan adalah seperangkat gamelan, biasanya berlaras salendro. Waditranya terdiri atas rebab, kendang, saron hiji jeung saron dua, panerus, bonang, rincik, gambang, ketuk, dan goong.
Pertunjukan Wayang Wong Priangan mengacu pada pertunjukan wayang golek. Biasanya diawali dengan tatalu, sebagai pembuka untuk menyambut kehadiran penonton. Dilanjutkan dengan bubuka carita, berupa murwa dan nyandra. Penyajian selanjutnya adalah bagian ngalalakon (bercerita) biasanya dibagi dalam beberapa babak, sesuai dengan cerita yang disajikan. Pada bagian akhir disebut bubaran, yakni bagian penghantar pulang para penonton. Kostum dan rias yang digunakan berorientasi pada Wayang Golek.